HUKUM
Revisi KUHAP Perkuat Peran Jaksa sebagai Dominus Litis, Bukan Super Power

Jaksa Bukan Super Power
Sementara itu, ahli hukum dari UNDIP, Pujiono menyoroti bahwa KUHAP yang baru tidak serta-merta menjadikan jaksa sebagai lembaga yang terlalu dominan. Dalam revisi tersebut, mekanisme restorative justice diperkuat, sebagaimana diatur dalam Pasal 132, yang memungkinkan penyelesaian berkeadilan sebagai dasar penghentian penuntutan.
Namun, ia mengkritisi kurangnya komunikasi antara penyidik dan jaksa dalam sistem yang ada saat ini.
“Saat ini, komunikasi formal hanya terjadi melalui surat resmi seperti Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP). Padahal, diperlukan komunikasi yang lebih cair agar ada kesamaan persepsi antara penyidik dan penuntut dalam menentukan kelanjutan perkara,” jelasnya.
Baca Juga : BUMN dan Kemenhub Siapkan Armada Ekstra untuk Mudik Lebaran 2025
Menanggapi kekhawatiran bahwa revisi KUHAP bisa menjadikan jaksa terlalu berkuasa, Bambang Waluyo menepis anggapan tersebut.
“Jaksa memang memiliki kewenangan besar dalam mengendalikan perkara, tetapi bukan berarti menjadi super power,” tegasnya. Ia menambahkan bahwa efektivitas sistem ini tetap bergantung pada profesionalisme, integritas, dan pengawasan lembaga terkait.
Menurutnya, KUHAP baru dirancang agar lebih sesuai dengan perkembangan hukum dan politik, tetapi mekanisme pengawasan harus diperkuat agar tidak terjadi penyimpangan.
“Dalam manajemen, ada perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan. Jika tidak diawasi, sistem yang baik pun bisa bermasalah,” ujarnya.
Dengan adanya revisi KUHAP, para ahli hukum berharap peran kejaksaan tetap kuat agar sistem peradilan di Indonesia dapat berjalan lebih efektif, adil, dan transparan.